Selasa, 17 Mei 2011

Mahasiswa”Mabni’ “ Vs Mahasiswa “Mu’rab” Refleksi atas Fenomena Rekrutmen Sel Radikalisme yang Membanjiri Dunia Kampus Kita


Oleh:Arip Hidayat[i]

Masih melekat apa yang ada di ingatan kita, kasus menghilangnya Dua belas orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang(UMM), yang akhir-akhir ini banyak menghiasi belantara media masa kita, baik cetak maupun elektronik, adalah 
bukan merupakan suatu fenomena baru yang menerpa dunia kampus kita. Karena kalau kita sedikit menoleh ke belakang tentu hal ini merupakan realitas yang sudah terjadi sejak akhir 1970-an.
Fakta yang mensinyalir bahwa mereka merupakan korban pencucian otak oleh sekte sesat NII adalah merupakan kebenaran sebagaimana adanya, suatu indikasi kalau dunia kampus merupakan lahan yang sangat subur sebagai tempat berkembangnya gerakan-gerakan ekstremis dan radikalis, yang menjadikan mahasiswa sebagai objek utama sasarannya.
Kesuburan ladang kampus, sebagai lahan yang sangat menjanjikan bagi invasi ideologi sekte-sekte ajaran sesat tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial mahasiswa itu sendiri yang merupakan elemen terpenting dari dunia kampus, mahasiswa sebagai intelektual muda yang dinilai sangat progresif terhadap hal-hal yang berbau pergerakan subversif merupakan prospek cerah bagi kalangan radikalis.
Azyumardi Azra, yang merupakan Guru besar bidang sejarah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menulis dalam opininya (Kompas 27/4/11) yaitu pentingnya revitalisasi lembaga, badan, dan organisasi kemahasiswaan baik intra  maupun ekstra kampus. Karena dalam beberapa tahun ini organisasi intra kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) lebih terlibat dalam aktivisme politik, demonstrasi, dan protes lain terkait isu-isu politik dan pemerintahan.
Di sisi lain, mahasiswa seakan banyak terjebak dalam gerakan kungkungan realitas dan fenomena dalam menanggapi kebobrokan birokrasi pemerintahan dan elit penguasa negeri, akan tetapi lupa membaca (baca; memahami, berusaha mengetahui, mengkonseptualisasikan) keadaan mahasiswa sendiri dari invasi ideologi-ideologi radikalisme dan ekstrimisme terhadap dunia kampus.
Banyak kalangan menilai bahwa potret aktivisme mahasiswa dua tahun terakhir ini mengalami disorientasi kemahasiswaan disebabkan faktor sosial, budaya, ekonomi, bahkan keagamaan. Hal yang sama sebagaimana yang menimpa organisasi kemahasiswaan Ekstra kampus; HMI,PMII,IMM,KAMMI,GMNI,PMKRI dan GMKI tak lagi aktif dalam kaderisasi anggotanya,nama organisasi cenderung hanya dijadikan label Verbal serta simbol gerakan yang hanya berorientasi kepada fanatisme belaka tapi miskin dari substansi.ada kecenderungan kuat, keanggotaan sebagian besar organisai merosot secara signifikan, padahal beberapa penelitian PPIM dan CSRC di UIN Jakarta menunjukan keanggotaan dan aktivisme organisasi merupakan faktor penting untuk mencegah terjerumusnya seseorang mahasiswa ke dalam gerakan Radikal dan Ekstrim.
Satu benang merah dapat kita tarik, bahwa aktivisme mahasiswa dalam berbagai organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus adalah salah satu faktor urgen yang paling elementer sebagai tameng pertahanan yang cukup kuat dalam menahan invasi doktrinisasi sekte-sekte ajaran sesat.dan sebaliknya, mahasiswa yang tidak mempunyai kegiatan dan aktivitas berorganisasi atau sama sekali apatis, cenderung akan mudah terdoktrin dan terbawa arus sebagai konsekuensi dari miskinnya mahasiswa terhadap hal-hal yang berbau pergerakan bahkan yang bersifat subversif.
Maka solusi yang tepat untuk mengatasi problematika seperti ini adalah satu di antara dua pilihan, apakah pilihan kita menjadi seorang mahasiswa yang mabni’ (apatis) ataukah seorang mahasiswa yang mu’rab (aktif) ?







[i] Penulis adalah mahasiswa FAI-EPI UMY 2010 ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FAI UMY,Aktif di lembaga kajian agama dan swadaya masyarakat (LeKas) Korps Dakwah Mahasiswa (KODAMA),Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar